![]() |
| Di tengah proses hukum yang berjalan, muncul suara simpati dari warga Desa Ngulak III | Foto : Kiki |
Sanga Desa, HSC — Kasus penembakan yang menewaskan Roki Meciana, warga yang diduga kerap mencuri buah kelapa sawit di Desa Ngulak III, Kecamatan Sanga Desa, terus menjadi sorotan. Setelah menjalani pemeriksaan intensif, Muhamad Pajri (45), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), bersama anaknya TH (16), resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.
Penetapan itu disampaikan dalam konferensi pers Polda Sumatera Selatan, Selasa (29/10/2025) siang, di ruang Bidhumas Polda Sumsel. Acara dipimpin langsung oleh Kasubdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sumsel AKBP Tri Wahyudi, SH., MH.
“Pelaku dijerat Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, serta Pasal 55 dan 56 KUHP karena turut serta melakukan tindak pidana, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara,” ujar AKBP Tri Wahyudi.
Di tengah proses hukum yang berjalan, muncul suara simpati dari warga Desa Ngulak III. Sejumlah tokoh masyarakat meminta aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan latar belakang kejadian dan memberikan keringanan hukuman bagi Pajri dan anaknya.
Salah satu tokoh masyarakat setempat, YS, yang juga dikenal sebagai pemuka agama dan petani sawit, menilai tindakan Pajri kemungkinan besar dipicu oleh kondisi emosional akibat maraknya pencurian sawit.
“Kami sangat menghargai kinerja polisi, tapi kami mohon agar hukum bisa mempertimbangkan faktor kemanusiaan. Tidak mungkin Pak Pajri tega melakukan pembunuhan tanpa sebab. Kejadian itu terjadi malam hari di kebun sendiri, pasti karena ada sesuatu,” ujar YS kepada wartawan.
Menurut YS, masyarakat sudah lama resah dengan aksi pencurian sawit yang diduga dilakukan secara berulang, bahkan oleh korban sendiri.
“Setiap hari buah kami hilang. Kami sudah lelah, merasa tidak ada keadilan. Kalau sampai pelaku mencuri di kebun orang malam-malam, wajar kalau petani emosi,” tambahnya.
Tak hanya memikirkan Pajri, warga juga menyampaikan keprihatinan terhadap nasib TH (16), anak Pajri yang masih duduk di bangku sekolah menengah.
“Kami khawatir anak ini trauma. Dia masih muda, masa depannya masih panjang. Kami mohon hakim bisa mempertimbangkan usia dan kondisi psikologisnya,” tutur YS.
Masyarakat mengenal Pajri sebagai ASN yang pendiam dan tidak pernah bermasalah di lingkungan kerja maupun sekitar tempat tinggalnya.
“Beliau orang baik, tidak pernah buat onar. Kalau sampai ini terjadi, pasti karena khilaf,” ujarnya.
Camat Sanga Desa, Hendrik, SH., M.Si., juga memberikan tanggapan. Ia menyebut selama ini Pajri dikenal sebagai pegawai yang disiplin dan sederhana.
“Setiap hari beliau kerja di kantor, lalu pulang langsung ke kebun. Tidak pernah punya masalah dengan siapa pun,” ungkap Hendrik.
Ia menambahkan, meskipun kasus ini sempat viral karena penemuan jenazah tanpa identitas di pinggir kebun sawit Ngulak III, Pajri tidak pernah melarikan diri.
“Dia tetap beraktivitas seperti biasa, bahkan masih sempat ngantor sebelum akhirnya ditangkap di rumahnya,” jelas Hendrik.
Warga berharap aparat penegak hukum dan majelis hakim tidak hanya melihat akibat, tetapi juga memahami sebab dari peristiwa tersebut.
“Kami percaya hukum itu adil. Tapi kami juga ingin keadilan yang manusiawi. Pak Pajri bukan kriminal, dia hanya manusia yang khilaf karena marah dan tertekan oleh keadaan,” kata YS menutup pernyataannya.
Kini, proses hukum terhadap Muhamad Pajri dan anaknya TH masih berjalan di Polda Sumsel.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di tengah perjuangan masyarakat kecil mempertahankan hasil jerih payahnya, garis tipis antara emosi dan hukum bisa berujung pada tragedi yang menyayat hati. (Kiki Muba)

